RSS

KONTEKS TRANSFORMASI TEOLOGI DALAM PERUBAHAN SOSIAL

KONTEKS TRANSFORMASI TEOLOGI

DALAM PERUBAHAN SOSIAL

 Oleh : Bayu Pramutoko,SE,MM

( Dosen Fak. Ekonomi UNISKA Kediri dan KAHMI Kota Kediri )

( Disampaikan pada  LK 2 HMI Cabang Kediri)

Kediri, 16 Juli 2008

 

Makna Sosial

Manusia adalah makhluk sosial yang dapat bergaul dengan dirinya sendiri, menafsirkan makna-makna obyek-obyek di alam kesadarannya dan memutuskannya bagaimana ia bertindak secara berarti sesuai dengan penafsiran itu. Bahkan seseorang melakukan sesuatu karena peran sosialnya atau karena kelas sosialnya atau karena sejarah hidupnya. Tingkah laku manusia memiliki aspek-aspek pokok penting sebagai berikut :

(1)   Manusia selalu bertindak sesuai dengan makna barang-barang (semua yang ditemui dan dialami, semua unsur kehidupan di dunia ini);

(2)   Makna dari suatu barang itu selalu timbul dari hasil interaksi di antara orang seorang;

(3)   Manusia selalu menafsirkan makna barang-barang tersebut sebelum ia biasa bertindak sesuai dengan makna barang-barang tersebut.

Atas dasar aspek-aspek pokok tersebut di atas, interaksi manusia bukan hasil sebab-sebab dari luar. Hubungan interaksi manusia memberikan bentuk pada tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari, bergaul saling mempengaruhi. Mempertimbangkan tindakan orang lain perlu sekali, bila mau membentuk tindakan sendiri(Schlegel,1977: 5).

Blumer dalam premisnya menyebutkan bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain dan disempurnakan pada saat proses interaksi sosial berlangsung (Poloma, 1992 : 261). Makna dari sesuatu berasal  cara-cara orang atau aktor bertindak terhadap sesuatu dengan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasikan situasi di mana dia ditempatkan dan arah tindakannya.

           

Interaksi Sosial

Perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan interaksi sosial secara definitif. Interaksi sosial (  Social Interaction ) secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu proses dimana seseorang bertindak dan bereaksi antara yang satu dengan yang lainnya ( Smelser, 1984 : 89 ). Pengertian lain dari Bonner seperti dikutip Gerungan ( 1986 : 57 ) yang mengartikan interaksi sosial sebagai hubungan antara dua atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya.sedang Gillin dan Gillin seperti dikutip Soekanto ( 1986 : 51 ) mengartikan interaksi sosial sebagai hubungan – hubungan yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang – perorangan, antara kelompok – kelompok manusia, maupun antara orang – perorangan dengan kelompok manusia.

Sebagai suatu aktivitas yang melibatkan pihak lain dan sekaligus sebagai kebutuhan fondamental bagi manusia sebagai makhluk sosial, maka dalam proses interaksi tersebut manusia yang di satu sisi mempunyai karakter individualitas dan sosialitas di sisi lainnya melebur menjadi satu entitas sosial. Di sini manusia seperti diungkap dalam analisis sosiologisnya Berger ( 191 : 3 –5) terlibat dalam proses dialektis yang mewujudkan dalam tiga momentum atau tiga langkah fundamental, yaitu eksternalisasi, objektifasi, dan internalisasi. Dalam momentum eksternalisasi, manusia mencurahkan dirinya secara terus menerus kedalam dunia baik dalam bentuk kegiatan fisik maupun mental. Objektifasi merupakan hasil dari kegiatan fisik dan mental, yang kemudian tampak dihadapan pembuatnya sebagai aktifitas lahiriah yang lain dari keadaan aslinya. Internalisasi adalah pengambilan kembali realitas yang sama, mengubahnya sekali lagi dari struktur dunia objektif ke struktur dunia kesadaran. Melalui eksternalisasi masyarakat merupakan produk manusia. Melalui objektifasi masyarakat menjadi suatu realitas ideologis, unik. Dan melalui internalisasi maka manusia merupakan produk masyarakat.

Proses interaksi sosial pun tidak muncul secara tiba – tiba, tetapi secara psiko – sosial mempengaruhi dan dipengaruhi oleh banyak faktor dan muncul dalam berbagai bentuk, karena itu yang perlu diketahui lebih jauh dalam proses interaksi sosial ini adalah

 (1) Faktor – faktor terjadinya interaksi sosial:

 (2) Pola atau bentuk interaksi sosial yang berlangsung.

Menurut  Soekanto  ( 1986  :  52  –  53 )  dan Gerungan (1986 : 58 – 59) berlangsungnya interaksi sosial karena didorong oleh beberapa faktor, yaitu imitasi, sugesti, simpati dan identifikasi. Imitasi adalah proses meniru apa yang dimiliki oleh orang lain menjadi miliknya sendiri. Imitasi dapat berlangsung dalam bentuk seperti cara berbahasa, bertingkah laku tertentu, cara memberi hormat, mode, adat–istiadat dan tradisi lainnya. Imitasi berlangsung apabila seseorang menaruh minat atau perhatian yang cukup besar dan adanya sikap menyanjung atau mengagumi sesuatu yang ditiru. Sugesti adalah proses dimana seorang individu menerima penglihatan atau pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu. Sugesti terjadi karena yang bersangkutan mengalami hambatan berpikir, dalam keadaan bingung dan keadaan memandang orang lain lebih tinggi, karena kebanyakan orang telah terlibat (terpengaruh mayoritas), dan karena pandangan yang disampaikan telah menjadi keinginannya. Simpati merupakan perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain. Simpati timbul bukan atas dasar logis rasional, tetapi semata – mata tertarik dengan sendirinya, dan tertarik tidak karena salah satu ciri tertentu, melainkan karena keseluruhan cara bertingkah laku seseorang. Identifikasi adalah dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan seseorang. Identifikasi dilakukan orang terhadap orang lain yang dianggap ideal dalam satu segi, untuk memperoleh sistem norma, sikap dan nilai–nilainya yang dianggap ideal dan masih mengandung kekurangan bagi dirinya.

Terjadinya interaksi sosial yang didorong oleh empat faktor tersebut, tidak dapat dilepaskan juga dari adanya jarak sosial para pelaku interaksi (Susanto, 1989). Konsep jarak sosial ini pertama kali digunakan oleh Bogardus sebagai teknik mengukur tingkat penerimaan dan penolakan terhadap kelompok lain (Horton & Horton, 1982 : 32). Dalam konteks interaksi sosial, jarak sosial memberikan pengaruh yang cukup besar. Semakin dekat jarak sosial yang ada, semakin tinggi intensitas interaksi yang dilakukan, demikian juga sebaliknya. Apabila individu lebih jauh dengan yang lainnya, maka kana terdapat tanda akan goyahnya hubungan–hubungan sosial yang harmonis.

Pada hakekatnya manusia memiliki sifat sebagai makhluk individual, makhluk sosial dan makhluk berketuhanan (Santoso, 1983 : 13). Manusia dalam sifat-sifatnya sebagai makhluk sosial  menjalin hubungan sosial antar sesamanya, dengan kelompok lainnya dala kehidupannya. Dengan kata lain setiap individu menjalin interaksi sosial sesamanya didalam kelompok lainnya. Interaksi sosial dapat dipengaruhi oleh aspek-aspek, faktor-faktor yang akan menentukan  berhasil tidaknya interaksi sosiall berlangsung. Aspek-aspek interaksi sosial tersebut antara lain :

(1)    Adanya hubungan antara individu dalam hubungan kelompok;

(2)    Tampilnya individu-individu melaksanakan hubungan;

(3)    Mempunyai tujuan tertentu;

(4)    Adanya hubungan dengan struktur dan fungsi kelompok yang terjadi karena individu dalam hidupnya tidak terpisah dan memiliki fungsi di dalam kelompoknya.

Sedangkan factor-faktor yang berpengaruh dalam interaksi sosial  adalah sebagai berikut :

(1)         Situasi sosial, memberi bentuk tingkah laku individu;

(2)         Kekuasaan norma-norma kelompok;

(3)         Tujuan kepribadian, mempengaruhi tingkah lakunya;

(4)         Setiap individu berinteraksi sesuai dengan kedudukan dan kondisinya bersifat sementara;

(5)         Setiap situasi mengandung arti dan mempengaruhi individu untuk melihat dan menafsirkan situasi (Santoso, 1983 : 16).

Dalam prakteknya, interaksi sosial merealisasikan ke dalam banyak pola. Dalam masyarakat yang ditandai dengan kemajemukan agama, yang relevan diungkap adalah dua pola yang sudah berkembang secara umum, yaitu integrasi dan konflik. Dalam pengertian secara umum konflik dapat diartikan sebagai pertentangan yang bersifat langsung dan disadari antara individu– ndividu dan kelompok – kelompok untuk mencapai tujuan yang sama. Sedangkan integrasi mengandung pengertian sebagai penyatuan kelompok–kelompok yang tadinya terpisah satu sama lain dengan melenyapkan perbedaan–perbedaan sosial dan kebudayaan yang ada sebelumnya (Saifuddin, 1986 : 7).

Dalam kaitannya dengan kehidupan agama, integrasi diartikan sebagai bentuk kerja sama antara dua kelompok agama atau lebih dalam kesatuan sosial masyarakat. Sedangkan konflik adalah bentuk sengketa yang terjadi antara dua kelompok atau lebih umat beragama, yang disebabkan oleh prasangka–prasangka tertentu apa  yang  bermula  dari  doktrin  agama  atau  sebab–sebab  lain (Abdurrahman, 1982 : 142). Terjadi integrasi sosial dan konflik sosial dalam masyarakat yang majemuk dalam kehidupan agama, dapat ditelusuri dari faktor–faktor interaksi sosial yang telah dijelaskan di atas.

Perubahan Sosial

Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Perubahan itu bias dalam arti sempit , luas, cepat atau lambat. Perubahan dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan proses terus-menerus untuk menuju masyarakat maju atau berkembang baik perubahan sosial maupun perubahan kebudayaan.

Berbeda halnya apa  yang dikemukakan oleh Moore dalam karya Lauer, perubahan sosial didefinisikan sebagai perubahan penting dalam struktur sosial (Lauer, 1989 : 4). Yang dimaksud  struktur sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Perubahan sosial mencakup seluruh aspek kehidupan sosial, karena seluruh aspek kehidupan sosial itu terus menerus berubah, hanya tingkat perubahannya yang berbeda.

Himes dan More (dalam Soelaiman, 1998 : 115-121) mengemukakan  tiga dimensi perubahan sosial :

(1)         Dimensi structural dari perubahan sosial mengacu kepada perubahan dalam bentuk struktur masyarakat menyangkut perubahan peran, munculnya peranan baru, perubahan dalam struktur kelas sosial dan perubahan dalam lembaga sosial;

(2)         Perubahan sosial dalam dimensi cultural mengacu kepada perubahan kebudayaan dalam masyarakat seperti adanya penemuan dalam berpikir (ilmu pengetahuan), pembaharuan hasil teknologi, kontak dengan kebudayaan lain yang menyebabkan terjadinya difusi dan peminjaman kebudayaan;

(3)         Perubahan sosial dalam dimensi interaksional mengacu kepada perubahan hubungan sosial dalam masyarakat yang berkenaan dengan perubahan dalam frekuensi, jarak sosial, saluran, aturan-aturan atau pola-pola dan bentuk hubungan.

Teologi Profetik dalam perubahan sosial.

            Bergesernya paradigma (shifting paradigm)  teologia religoonom  menyebabkan adanya mata rantai yang terputus peran dan fungsi teologi  agama-agama yang dibawa para nabinya. Peran dan fungsi teologia religoonom agama-agama adalah membawa para pemeluknya pada kedamaian, kesejahteraan, keadilan dan egalitarianisme. Semenjak lahirnya peradaban modern,   ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pioneer terkemuka, maka rasionalisme-empirisme menjadi pisau analisa yang begitu dominan dan mencapai puncaknya pada positivisme,  sehingga perkembangan ilmu pengetahuan disertai dengan penemuan ilmiah berkembang pesat. Ini karena filsafat modern menekankan pada anthroposentris dengan kebebasan manusia berkreativitas untuk menentukan hidupnya tidak tergantung pada kekuatan supernatural (Tuhan) sebagaimana pada abad pertengahan yang teosentris. Akhirnya paradigma teologis yang telah menjadi fundamental keimanan umat beragama mengalami semacam gugatan dan mencapai puncaknya dalam filsafat ilmu pada abad ke 19 – 20. Dengan positivisme, ukuran kebenaran adalah sesuai dengan apa yang bisa diverifikasi dan sesuai dengan fakta-fakta  yang bisa diukur. Sesuatu yang tidak sesuai dengan paradigma Positivisme dianggapnya tidak benar, termasuk agama, metafisika maupun etika.Bergesernya paradigma ini membuat teologi religoonom agama-agama  menjadi kehilangan élan vital ajarannya yang menyebabkan mandul dalam berkreasi dan menciptakan dialog-dialog dengan situasi social, ekonomi, politik maupun budaya masyarakat pemeluknya. Peran élan vital  teologia religoonom pada akhirnya diambil oleh ideologi-ideologi kiri yang dalam hal ini adalah sosialisme.

            Sosialisme mencapai puncak perjuangannya dalam membawa misi profetis  ketika disuarakan Karl Marx. Akhirnya para pemeluk agama melirik pada ideologi sosialisme sebagai ideologi perjuangannya. Sosialisme-Marxis merupakan doktrin sosialisme yang paling dominan dan dijadikan pijakan fundamental dalam menganalisa suatu perubahan dunia menuju masyarakat egalitarianisme, hilangnya segala eksploitasi dan penindasan atas manusia. Perjuangan untuk mencapai tatanan masyarakat yang adil dan tanpa kelas oleh sosialisme hampir sepenuhnya dijalankan Marxisme. Pada akhirnya, Sosialisme-Marxis telah menjelma menjadi suatu ideologi kaum tertindas sebagai landasan perjuangan untuk memprotes penindasan dan diskriminasi pemilik modal (bahkan negara) terhadap kaum buruh dalam rangka memperjuangkan kesederajatan dan keadilan distributif, sehingga kaum buruh tidak dijadikan “sapi perahan” seperti selama ini.

            Beberapa tahun terakhir ini, muncul peristiwa yang mengguncang dunia, yaitu sosialisme khususnya Marxisme sebagai simbol perjuangan kaum tertindas dalam bentuk gerakan transformasi sosial yang memberikan secercah harapan dan keyakinan selama kurang lebih satu setengah abad, sudah mulai rapuh dan tidak lagi progresif. Harapan dan keyakinan Marxis untuk ” mengubah wajah dunia ” telah kehilangan elan vitalnya, bahkan menjelma sekedar menjadi alat atau metode analisis sosial sehingga pengaruhnya kian merosot dan didiskreditkan. Perkembangan selanjutnya, terjadi guncangan yang menampakkan kecenderungan tersingkirnya sosialisme-marxisme sebagai ideologi kaum tertindas  yang progresif. Sosialime-Marxis mulai ditinggalkan yang tersisa hanya suatu sikap pragmatis dan dalam berbagai bentuknya saat ini adalah pemborjuisan (embourgoisment).

            Pemborjuisme ini merupakan ciri modernitas yang pada akhirnya mengambil peran dalam mengubah dunia. Salah satu proyek modernitasnya kaum borjuis dengan melanggengkan kelasnya adalah imperialisme baru melalui developmentalisme.  Proyek ini menjadi tren untuk menjajah suatu negara dalam dunia ketiga. Hasil dari proyek tersebut bukan kemakmuran rakyat yang didapatkan, tetapi eksploitasi terhadap manusia maupun alam dan hanya lebih menguntungkan  kaum pemilik modal sebagai pilar kapitalisme untuk perlindungan atas negara. Ini merupakan hantaman telak bagi sosialisme yang menyebabkan banyak negara sosialis ambruk. Sejak itu di negara berkembang (dunia ketiga) kaum tertindas  tidak lebih sekedar obyek kekuasaan (negara) dan kaum pemilik modal.

            Kesenjangan ekonomi dan rendahnya upah buruh merupakan bentuk penindasan baru sebagai akibat develomentalisme yang dijalankan negara berkembang. Peran negara terlalu kuat disatu sisi, pada sisi yang lain dalam dunia ketiga dengan develomentalisme masyarakat tercerahkan sehingga menuntut adanya upaya aksi emansipatoris terhadap negara (kapital). Sosialisme, pada akhirnya mulai tumbuh dan diminati sebagai ideologi baru dalam memberikan analisa sosial relitas terhadap menumbuhkan sikap kritis hampir semua negara dunia ketiga. Sosialisme mulai diminati sebagai antitesa terhadap kemapanan (status quo) dan dampak develomentalisme, sebagai salah satu program rasionalisme kapitalisme. Perjuangan sosialisme untuk mengangkat harkat dan martabatnya manusia menghadapi penindasan  mengalami kegagalan total, karena sosialisme menjadi ideology kepentingan yang diperjuangkan tanpa melihat local jenius suatu masyarakat. Melihat kegagalan-kegagalan tersebut, akhirnya masyarakat pemeluk agama mulai melirik kembali teologia religionomnya sebagai konsep dalam melakukan gerakan profetik dalam membebaskan manusia dari segala bentuk diskriminasi, ketertindasan maupun alienasi.

            Para pemeluk agama, khususnya para agamawan mulai melakukan redefinisi maupun reposisi teologinya. Redefisini maupun reposisi teologi terhadap fenomena social, ekonomi, budaya maupun politik dengan melakukan dialog-dialog  dengan ilmu-ilmu social sesuai dengan dinamika social masyarakatnya.Misi perjuangan Sosialisme termasuk Marx merupakan perjuangan untuk menciptakan kesadaran emansipatoris. Kesadaran emansipatoris ini merupakan suatu kekuatan Sosialisme dan Marxisme dalam melihat realitas masyarakat.

            Selama bertahun-tahun sosialisme menjadi menjadi simbol perjuangan kaum tertindas sebagai bentuk protes atau antitesa kaum Borjuis. Kesadaran sosial masyarakat merupakan pengaruh sosialisme yang sangat urgen dalam gerakan pembebasan.Analisis sosial Marx (Sosialisme) merupakan metode paling ampuh dalam membangun masyarakat egalitarianisme, kesadaran kritis maupun menghilangkan kesenjangan sosial. Gerakan ini memberikan pengaruh yang besar terhadap lahirnya “Teologi Pembebasan” di Amerika Latin yang dipelopori oleh Guiterrez,  seorang pendeta dalam dunia Kristen yang selalu gelisah melihat realitas umatnya yang tertindas oleh kekuasan negara maupun kapitalisme dan gerakan pembebasan dalam semangat Islam  yang di pelopori Hasan Hanafi dengan jargon “Kiri Islamnya” dan Asghar Ali Engineer dengan paradigma pemikirannya yang progresif dengan semangat teologi pembebasannya.

            Praksis  pembebasan dalam agama-agama  merupakan gerakan misi baru Perjuangan kaum beriman melalui teologia religionom dalam membebaskan masyarakat tertindas dan Egalitarianisme. Itu semua merupakan misi perjuangan profetis. Dalam sejarah, gerakan profetis (kenabian) merupakan gerakan revolusi dalam memperjuangkan tatanan sosial kemasyarakatan yang satu tanpa adanya pertentangan klas, adil dan tidak eksplotatif, sebagaimana pada masyarakat kapitalis yang oligarki dan oligopoli.Ini dapat kita saksikan dalam sejarah bahwa para nabi dan rosul merupakan mujaddid revolusioner sejati. Nabi Ibrahim misalnya, dianggap sebagai simbolisme revolusi akal dalam menundukkan tradisi paganisme.

            Nabi Musa mampu merefleksikan revolusi pembebasan kaun Bani Israil yang tertindas melawan otoritasme dan bentuk kediktatoran Fir’aun. Nabi Isa (Yesus) pun hadir dengan revolusi spiritualisme atas dominasi materialisme. Bahkan Nabi Muhammad pun hadir sebagai pembebas kelompok tertindas (budak) atas perilaku kaum elite Quraisy yang kapitalistik. Melihat seperti tersebut maka solusi terpenting adalah mengembangkan sosialisme Religius sebagaiman diperjuangkan para nabi dan rosul.

Para Nabi dan Rasul memperjuangkan bentuk sosialisme religius dengan penekanan pada moral, spiritual. Sosilisme religius meletakkan keseimbangan bahwa dalam milik pribadi terdapat hak milik sosial. Disamping itu, di sini perjuangan keadilan yang humanis tanpa kekerasan atau lebih dikenal dengan konsep “al-adl wa al-ihsan” (keadilan dan kebajikan) sebagaimana dilaksanakan oleh para Nabi.

            Fenomena di atas, tidaklah mungkin akan terselesaikan jika kaum beragama (beriman) hanya memandang teologi yang semula dipahami secara klasik sebagai ilmu yang membicarakan tentang Tuhan kaitannya dengan persoalan-persoalan eskatologis dan melangit. Teologi klasik sebagaimana dipahami orang beriman seperti tersebut tidak akan mampu memberikan solusi alternatif bagi umatnya menghadapi dinamika kehidupan social, ekonomi, politik, budaya dan agama itu sendiri berhadapan dengan dunia global.

            Teologi harus dirubah peran dan fungsinya  sesuai dengan dinamika social menjadi teologi kontekstual, sebuah teologi yang dipahami dan didialogkan secara dialektis sesuai dengan konteks problematika umatnya dalam berhadapan dengan dinamika social, ekonomi, budaya maupun politik. Teologi kontekstual merupakan perkembangan teologi yang lebih bersifat praksis, dimana kaum beriman melakukan sebuah tindakan yang tidak semata bersifat ukhrowi, tetapi juga bagaimana kaum beriman dengan teologinya membangun kedamaian, keadilan, egalitarianisme didunia ini. Dengan kata lain, kaum beriman diharapkan dengan teologinya membangun kerajaan Tuhan dibumi ini, agar bumi ini penuh dengan kehidupan surga.

******

 

13 responses to “KONTEKS TRANSFORMASI TEOLOGI DALAM PERUBAHAN SOSIAL

  1. M.Farid Wahyudi

    Juli 17, 2010 at 5:32 pm

    makasih dulu!!!

     
  2. arkhina

    Oktober 6, 2010 at 9:57 am

    ijin copy ya….Syukron jaziiilan

     
  3. Putu Sartika

    Juni 25, 2011 at 1:25 am

    masuk AKAL GAK?

     
  4. Sastro Amijaya

    Mei 27, 2012 at 1:20 pm

    Sip..

     
  5. rena fitri

    Oktober 16, 2012 at 10:33 am

    god….I like it

     
  6. Asefrinandoe

    Oktober 31, 2012 at 7:05 am

    Jangan hanya dilihat dari satu sisi bung…!!!!

     
  7. kamarudin

    November 12, 2012 at 4:35 pm

    udah bagus aku mintak ijin kopy ya

     
  8. hadi purnanto

    November 20, 2012 at 7:53 am

    Agama islam adalah agama yang berasal dari langit (wahyu) yang ditunjukan kepada nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umatnya untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. berbeda dengan agama-agama lain seperti Hindu, Budha dan Konghuju yang merupakan agama hasil dari pemikiran pemikiran (berfilsafat) bukan agama yang berasal dari langit (wahyu tuhan). memang agama-agama tersebut mengakui bahwa tuhan itu benar-benar ada hanya saja dalam penerapannyab berbeda sekali dengan agama islam, agama-agama tersebut hanyalah sebuah kepercayaan dari hasil berfisafat yang dijadikan sebagai keyakinan. selain agama islam yang berasal dari langit ada agama-agama lain seperti yahudi dan kristen. namun agama-agama tersebut lebih lanjut dijelaskan dan disempurnakan dalam agama islam, sehingga agama islam adalah agama penyempurna dari agama-agama sebelumnya. oleh karena itu kita sebagai umat islam sangat beruntung sekali, karena agama yang diakui Allah SWT adalah agama islam sebagai keyakinan yang dapat menyelamatkan seluruh umat manusia. terus bagaimana dengan agama-agama yang lain?

     
  9. Hadi purnanto

    November 25, 2012 at 7:35 am

    Asalamualaikum WR. WB
    Saya setuju dengan pendapat Saudara,memang sulit kita membedakan antara agama, ideologi dan budaya, ketiganya merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dan saling berhubungan. ideologi senderi merupaka hasil pemikiran berdasarkan agama(wahyu) ataupun pemikiran dari dalam diri sendiri, begitu halnya dengan budaya yang merupakan hasil hasil cipta karya dan rasa dari manusia berdasarkan agama maupun ideologi. memang benar agama-agama yang ada didunia ini pada intinya mempunyai tujuan yang sama yaitu percaya terhadap adanya tuhan. Menurut saudara memang benar kalau agama-agama itu dikelompokan berdasarkan agama wahyu(agama dari langit) dan agama budaya. agama-agama wahyu / agama samawi / agama dari langit hanya terdiri dari agama Islam, Yahudi dan Kristen. sedangakan agama budaya / agama filsafat / agama akal / Natural Relegius yaitu agama Budha, Hindhu, Konghucu, Shinto dan sebagainya. Namun sesunggunya agama yang diridai oleh Allah SWT yaitu agama sawawi(agama yang berasal dari Allah) seperti agama Yahudi, Kristen dan Islam. tetapi agama yang rahmatan lil alamin menurut Allah SWT hanya satu agama yaitu agama Islam, karena agama islam penyempurna dari agam-agama sebelumnya. Islam sendiri artinya pasrah sepenuhnya (kepada Allah), karena itu semua agama yang benar disebut islam. begitulah, kitab suci mengatakan bahwa nabi nuh mengajarkan islam (Q.R S Yunus/ 10:72). Nabi Ibrahim pun membawa ajaran isla, dan mewasiatkan ajaran itu kepada anak-turun Ya’qub atau Isra’il(Q.R S Al- Baqarah/ 2:130-132). agama islam yang dibawah oleh Nabi Muhammad (yang memang secara sadar dari semula disebut agama sikap pasrah sempurna kepada Allah atau Islam), adalah tidak unik (dalam arti, tidak berdirisendiri dan terpisah). dia berada dalam garis kelanjutan dengan agama-agama lain. bahkan agama kristes mengakui kalau agama islam merupakan agama penyempurna dari agama-agama yahudi dan kristen. hal ini terlihat dari kitab suci umat kristen terdapat dalam penjelasan Al – Quran, hanya saja kitab yang diakui umut islam yaitu kitab yang pertama-pertama diturunkan oleh Allah bukan kitab yang sekarang yang sudah mengalami perubahan isinya. berati kita beruntung sekali sebagai umat islam. Bagaimana menurut anda dengan agama-agama lain? terutama agama-agama budaya/agama filsafat apakah diridai oleh Alla SWT dihari kiamat kelak?
    Sebelumnya saya minta maaf kepada saudara kalau ada kata-kata yang menyinggung Anda, Saya bermaksud untuk mengkopi Artikel Anda sebaga pemenuhan tugas Metodologi Studi Islam. Wassalamualaikum WR. WB.

     
  10. Abidin Ghozali

    Januari 10, 2013 at 5:03 pm

    Trimakasi ilmunya…

     
  11. Priyo

    Januari 28, 2013 at 10:26 pm

    kalo budaya jadi agama, lantas agama mau dijadiin apaan ya ?
    🙂

     

Tinggalkan Balasan ke rena fitri Batalkan balasan